Minggu, 20 Januari 2008

Pupuk KCL Langka di Pasaran

  • Ribuan Petani Bawang Bingung

BREBES - Setelah didera persoalan pupuk palsu, kini ratusan petani bawang merah di wilayah Brebes mengalami kesulitan memperoleh pupuk jenis Kalium Clorida (KCL).

Pupuk tersebut menghilang di pasaran sejak awal Mei lalu. Padahal, pupuk yang merupakan produk impor itu sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman yang baru memasuki usia 15 hari.

Menurut keterangan Purnomo, agen penjual pupuk Mitra Tani di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, pihaknya sudah lama tidak menerima stok pupuk jenis KCL dari distributor resmi. Biasanya, dalam kondisi normal pihaknya mampu menyediakan pupuk KCL 60 ton. "Memang banyak petani yang bertanya tentang pupuk tersebut. Sekarang petani sedang benar-benar membutuhkan untuk pertumbuhan tanaman," katanya ketika ditemui di ruang kerjanya, kemarin.

Dia mengemukakan, kalaupun ada, persediaan KCL itu tinggal sedikit dan harganya melambung tinggi. "Yang perlu dicermati, pupuk KCL yang saya jual ini resmi tidak palsu seperti yang dikabarkan selama ini. Harga pupuk itu sekarang mencapai Rp 2.600/kg dari harga semula Rp 1.400/kg. Itu toh kalau barangnya ada. Padahal sejak dua bulan terakhir ini barangnya sudah langka," paparnya.

Selaku penjual pupuk terbesar di Kecamatan Wanasari, Purnomo telah berupaya mencari keterangan dari distributor resmi Pusri. Dia memperoleh jawaban, pupuk KCL itu langka karena impor dari Kanada dan Jerman terhenti. "Ya, mau bagaimana lagi. Saya ingin memberikan layanan yang terbaik kepada petani. Namun bagaimana lagi, kenyataannya benar-benar langka."

Tidak Optimal

Kelangkaan pupuk KCL di pasaran itu benar-benar membuat petani bawang resah. Karno (40), seorang petani warga Kelurahan Brebes mengaku khawatir kelangkaan pupuk tersebut akan berpengaruh terhadap tanaman yang baru berusia 15 hari. Dia merasa cemas, sebab jika kelangkaan pupuk KCL itu terus berlangsung lama akan berpengaruh pada kesuburan tanaman. "Biasanya kalau kurang pupuk KCL tanaman itu kecil-kecil dan pertumbuhannya tidak optimal. Apalagi sekarang hama ulat gerayak juga sedang mengganas," keluhnya.

Ketika ditanya pupuk apa yang digunakan untuk pengganti KCL, dia yang dibenarkan petani lain mengaku terpaksa menggunakan pupuk lain seperti ZA. Kendati demikian, dia mengakui pupuk ZA itu sebenarnya tidak digunakan untuk pertumbuhan tanaman, namun hanya kesuburan tanah. "Kami bingung. Ya, daripada tidak dikasih pupuk sama sekali," tukasnya.

Secara terpisah, Distributor Pusri Eks Karesidenan Pekalongan, Daswir, ketika dihubungi Suara Merdeka membenarkan adanya kelangkaan pupuk KCL tersebut. Dia mengatakan, kelangkaan pupuk itu disebabkan oleh impor pupuk dari negara luar sedang stagnan. "Kami sudah mengusahakan agar ada suplai pupuk, namun mengalami kesulitan karena tidak ada stok dari negara luar," katanya.

Dia belum bisa memastikan kapan kelangkaan pupuk KCL itu akan teratasi. (G12-74n).sumber : suara merdeka 3/7/04

Penyaluran Pupuk SP 36 Bersubsidi
di Sumsel Tak Terealisasi

Palembang, Sinar Harapan
Banyaknya kendala dalam pendistribusian dan pengiriman pupuk SP 36 produksi PT Petrokimia Gresik di Sumsel menyebabkan target penyaluran pupuk bersubsidi di daerah ini tak terealisasi. Menteri Pertanian sebelumnya menargetkan penyaluran pupuk SP 36 bersubsidi di Sumsel sebanyak 22.000 ton.
Namun ternyata, selama tahun 2004 lalu pihak Petrokimia Gresik hanya mampu menyalurkan sekitar 12.000 ton. Tak tersalurnya pupuk bersubsidi yang dijual dengan harga Rp 1.400/kg ini, terutama di empat kabupaten/kota yang letaknya jauh dari kota Palembang. Yakni Lahat, Lubuklinggau, Musirawas (Mura) dan Pagaralam.
Kepala Cabang Distribusi Pupuk Petrokimia Sumsel dan Bangka-Belitung, Anang Agus R, kepada wartawan, Selasa (25/1), mengemukakan bahwa banyak hal yang membuat target pendistribusian pupuk bersubsidi tidak terealisasi.
“Terutama empat daerah, yang ongkos kirim pupuk lebih dari Rp 100/kg, target pendsitribusian tidak tercapai. Kalaupun dipaksakan, penjualan di tingkat distribustor/agen akan di atas harga eceran tertinggi (HET),”ujarnya.
Selain itu, selama ini banyak terjadi pungutan liar di gudang penyimpanan milik Banda Graha Reksha (BGR). “Kita telah berusaha meminimalkan biaya yang dikeluarkan untuk pihak-pihak tertentu,” tambahnya. Selama ini, memang penyimpan pupuk SP 36 milik PT Petrokimia dipercayakan di gudang BGR.
Faktor lainnya, menurut Anang, pengangkutan pupuk dari Gresik ke Palembang tidak bisa dengan kapal besar. Itupun, perusahaan harus menyewa khusus dengan biaya pulang–pergi. Kapal padahal digunakan hanya untuk mengangkut pupuk.
“Kita juga sulit mencari kapal yang bisa melayari Sungai Musi. Soalnya, kapal bertonase 4.000 ton yang bisa masuk perairan Musi yang lambungnya bulat. Kalau lambungnya lancip tidak bisa masuk. Karenanya, kita bersyukur kalau di Palembang ada Pelabuhan Samudra,”tambahnya.
Untuk antisipasi ke depan, terutama di tahun 2005, agar target yang ditetapkan Menteri Pertanian terealisasi, pupuk SP 36 bersubsidi untuk empat kabupaten/kota dimaksud akan dimasukkan lewat Bengkulu, apalagi ongkos angkut dari Bengkulu ke daerah ini hanya Rp 60/kg.
“Dengan demikian, pupuk bersubsidi dijamin bisa didapatkan petani dengan harga eceran tertinggi (HET),” tuturnya.
Kalau kondisi yang sama masih tetap terjadi di tahun 2005, dikhawatirkan penyaluran pupuk bersubsidi juga tidak akan terealisasi padahal pasca banjir di mana ribuan hektare sawah mengalami puso tentu petani akan banyak membutuhkan pupuk.
Sebelumnya, salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap persoalan pertanian mempersoalkan masih banyaknya pupuk bersubsidi yang tidak terdistribusi ke petani. “Kita minta pihak pertakit mengusut kasus ini sehingga petani tidak dirugikan,” kata Sarjono, Koordinator LSM tersebut. (sir)

Sabtu, 19 Januari 2008

Pupuk Urea Menghilang di Karang Joang


Tags:Buntut Terungkapnya Penyelewengan Manajer Pemasaran PKT
BALIKPAPAN-Beban yang harus ditanggung petani di Jl Soekarno Hatta Karang Joang kini semakin berat saja. Bukan hanya soal langkanya air tapi juga pupuk. Bagaimana tidak, lebih dari seminggu pasokan pupuk urea bersubsidi merek Mandau dari Pupuk Kalimantan Timur (PKT) Bontang terhenti. Yang ada kini, hanyalah pupuk kiloan seharga Rp1.050 per kilo gram. Kios Saprodi (KUD) Budi Rahayu TPK VI Km 5 contohnya.

Menurut pengelolanya, Budi, sejak kejadian itu dia sering mendapat keluhan dari para petani yang kebingungan mencari pupuk urea. "Ini gara-gara ada penyelewengan di gudang itu (Kariangau, Red.). Sudah untungnya tipis, sekarang barangnya ndak ada. Bingung kita sekarang," katanya kesal. Padahal tanggung jawab yang diembannya cukup berat, KUD yang dikelolanya sejak 5 tahun lalu itu, tiap harinya harus memasok pupuk ke belasan kelompok tani. Memang tak seluruhnya mendapat stok dari KUD-nya. Tapi bayangkan saja bila per kelompoknya beranggotakan 10 hingga 15 petani.

Berapa ratus atau bahkan ribuan petani yang dibuat kesal dengan kondisi ini. Menaikkan harga pupuk di atas harga jual Rp52.500 per karung, menurut Budi sangat tak mungkin dan bakal mendapat sanksi berat dari PKT bila ketahuan. Hal yang sama dikemukakan seorang petani bernama Rajuni. Menurutnya, sejak adanya kelangkaan pupuk urea sekitar sebulan lalu, dia kebingungan mencari ke mana lagi. Dengan luas lahan mencapai 1 hektare, tak mungkin bagi dia membeli eceran. Apalagi pupuk untuk jagung yang kebutuhannya 2 kali selama masa tanam 80 hari. Akibatnya, jagung yang ditanamnya saat ini ukurannya lebih kecil dari biasanya. Belum lagi kebutuhan pupuk urea bagi tanaman lain seperti labu, singkong, rambutan dan sebagainya. "Mau beli tapi kalau nggak ada pupuknya gimana. Harga pupuknya naik, harga jagungnya tetap," ucapnya pasrah.

Sementara itu penyidikan 5 tersangka yang diduga menyelewengkan pupuk bersubsidi PKT Bontang yakni Sukadi, Zaim, Suhantoro, Firman, dan Marwan mulai mengerucut. Informasi yang didapat media ini menyebutkan, penyidik Polresta Balikpapan tengah mengejar seorang tersangka lain ke Jawa. Sayangnya, Kapolresta Balikpapan AKBP Drs Hadi Purnomo menolak untuk dikonfirmasi dengan alasan pihaknya tengah berkonsentrasi pada tahapan baru penyidikan yang tak bisa diekspos ke media. Informasi lain, lewat pengacaranya M Saleh SH, Firman dan Marwan mengikuti jejak ketiga temannya -- yang kemungkinan dijerat UU Korupsi karena diduga menyelewengkan 1.871 ton pupuk urea atau merugikan keuangan negara Rp855 juta -- mengajukan penangguhan/ pengalihan ke Kapolresta.(pra)

Original Link http://www.kaltimpost.web.id/berita/index.asp?Berita=Hukum&id=126976

BERITA
SAPRODI: PERLU SOSIALISASI PENGGUNAAN PUPUK MAJEMUK
Kompas (03/07/2006, 09:41:58)

Palembang, Kompas - Penggunaan pupuk kimia seperti urea, SP36, dan KCL secara bertahap perlu dialihkan ke pupuk majemuk yang telah mengandung unsur nitrogen, fosfor, dan kalium. Pemakaian pupuk majemuk dapat mengatasi kelangkaan pasokan dan mahalnya harga pupuk di tingkat petani.

Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan Trisbani Arief mengemukakan itu di sela-sela pencanangan gerakan peremajaan karet rakyat di Desa Sri Gunung, Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Jumat (30/6).

Trisbani mengatakan, Menteri Pertanian Anton Apriyantono yang hadir dalam pencanangan itu meminta agar pemakaian pupuk majemuk atau dikenal dengan pupuk NPK (ponska) mulai disosialisasikan sebagai salah satu solusi menghadapi kekurangan dan mahalnya harga pupuk di tingkat petani.

Selama ini, sebagian besar petani memakai tiga macam pupuk, yaitu urea, KCL, dan SP-36 untuk memenuhi kebutuhan nitrogen, fosfor, dan kalium di lahan mereka. Karena pasokan terbatas dan harga tak terjangkau, pupuk-pupuk itu sering tak terbeli.

Di Sumsel, misalnya, terjadi kekurangan pasokan pupuk urea bersubsidi. Kuota pupuk urea bersubsidi tahun 2006 sebanyak 136.000 ton, sedangkan kebutuhan pupuk urea berdasarkan estimasi Dinas Pertanian Sumsel mencapai 160.000 ton.

Untuk mengatasi kekurangan pupuk, petani dapat beralih ke pemanfaatan pupuk majemuk yang dijual melalui koperasi petani. Seperti pupuk urea, sebagian pupuk ponska disubsidi pemerintah menjadi Rp 1.750 per kg. Adapun untuk nonsubsidi dijual Rp 2.200-Rp 2.600 per kg. "Pemanfaatan pupuk ponska dapat menggantikan pupuk urea, KCL, dan SP-36," kata Trisbani.

Karena jumlahnya masih terbatas, distribusi pupuk ponska saat ini masih ditangani PT Pertani selaku distributor pupuk. Di Sumsel, kuota pupuk ponska bersubsidi tahun ini 3.000 ton, dari usulan penyediaan 25.000 ton.

"Jika permintaan meningkat, permintaan pupuk ponska bersubsidi akan ditingkatkan," kata Trisbani. (lkt)
Petani Indramayu Jangan Panik
Pupuk Kujang Turunkan Harga Penjualan Urea

INDRAMAYU, (PR).-
PT Pupuk Kujang menurunkan harga pupuk urea dalam penjualan dari tingkat produsen ke distributor. Harga pupuk urea yang sebelumnya Rp 970.000,00 per ton, terhitung 4 November 2004 diturunkan menjadi Rp 955.000,00 per ton. Kebijakan tersebut agar harga eceran tertinggi (HET) pupuk urea bisa bertahan di tingkat Rp 1.050.000,00 per ton atau Rp 1.050,00 per kg di kios pengecer resmi.

Dengan ketentuan itu, penjualan dari produsen ke distributor menjadi Rp 955.000,00 per ton perangko gudang lini III. Sementara penjualan dari distributor ke kios pengecer lini IV Rp 1.020.000,00 per ton di lokasi kios. Sementara, penjualan dari kios ke petani tetap Rp 1.050.000,00 per ton atau Rp 1.050,00 per kg.

"Dengan telah diturunkannya harga dari tingkat produsen ke distributor, diharapkan harga beli petani dapat sesuai HET yakni Rp 1.050,00 per kg. Hanya syaratnya, petani harus membeli secara tunai dalam kemasan kantong 50 kg dan pembelian dilakukan di pengecer resmi kios," ujar Kepala Divisi Pemasaran PT Pupuk Kujang - Cikampek, Hilman Taufik, Minggu (28/11) kepada wartawan.

Menurut Hilman, distribusi pupuk sesuai SK Menperindag No. 356/tahun 2004, mata rantainya adalah produsen melaksanakan penjualan pupuk ke gudang lini III distributor, distributor melaksanakan penjualan pupuk dari gudang lini III ke pengecer dan pengecer melaksanakan penjualan langsung kepada petani. Ketentuan tersebut perlu dijaga bersama sehingga dapat mencegah terjadinya harga di atas ketentuan.

Diakui Hilman, hingga saat ini masih ditemui adanya kendala dalam pencapaian HET pupuk urea. Hal itu dimungkinkan karena adanya daerah-daerah yang sulit dijangkau, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan relatif lebih tinggi dan tidak sebanding dengan HET yang ditetapkan. "Selain itu, karena masih terdapat pelaksanaan perdagangan pupuk antarpengecer besar dan kecil yang tidak dikenal dalam SK. Menperindag No. 70 maupun 356, di samping banyaknya pengecer kecil yang mengambil keuntungan yang besar karena volume penjualannya sedikit," kata Hilman Taufik

Kendala lainnya, terjadinya perembesan pupuk ke luar wilayah yang bukan peruntukannya akibat ulah pihak tertentu. Untuk itu, PT Pupuk Kujang telah melakukan kerja sama dengan Polda Jabar untuk mencegahnya. Pihak-pihak yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi administratif dan bahkan bila dianggap sangat merugikan akan dikenakan delik tindak pidana ekonomi.

Jangan panik

Menyinggung tentang kepanikan petani di Kabupaten Indramayu dengan memborong urea di kios- kios karena kekhawatiran pada saat mereka membutuhkan pupuk tidak tersedia seperti tahun-tahun sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi PT Pupuk Kujang, Arifin mengatakan, kepanikan tersebut semestinya tidak perlu terjadi. Pupuk urea cukup tersedia, baik dari sisi jumlah maupun penyebarannya. "Para petani tidak perlu panik karena pasti pupuk tersedia pada saat dibutuhkan nanti," tegasnya.

Dikatakannya, stok urea di gudang lini III Indramayu mencukupi untuk kebutuhan dua minggu ke depan. Hingga petani yang memerlukan pupuk bulan depan tidak perlu membeli sekarang karena pada saatnya akan dikeluarkan dari gudang-gudang sesuai kebutuhan.

Persediaan pupuk di seluruh Jawa Barat per tanggal 26 November 2004 sebanyak 101.127,84 ton terdiri atas stok PT Pupuk Kujang 56.309,84 ton dan stok PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) 4.418 ton. Stok urea PT Pupuk Kujang tersebut tersimpan di gudang pabrik PT Pupuk Kujang, Gudang Lini III Kabupaten, dan gudang distributor yang tersebar di 15 kabupaten/kota yang menjadi tanggung jawab PT Pupuk Kujang yang meliputi Kabupaten Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, serta Depok dan Cimahi. Sedang posisi stok khusus untuk wilayah Indramayu per tanggal 27 Nopember 2004, tersedia 6.825 ton.

Sebagaimana diberitakan "PR", memasuki masa awal musim tanam, para petani di wilayah Kabupaten Indramayu telah melakukan aksi borong pupuk dari kios-kios dan toko sarana produksi pertanian (saprodi). Akibatnya, di banyak kios dan toko saprodi mengalami kelangkaan stok barang tersebut. Aksi borong pupuk dilakukan, diduga karena petani merasa trauma dari pengalaman musim tanam tahun-tahun sebelumnya.(A-96)***sumber : Pikiran Rakyat Cyber Media

Kelangkaan Pupuk Urea

--Terlalu banyak misteri yang harus dikuak dari kasus langkanya pupuk urea ini.

SEJATINYA, awal musim tanam (MT) adalah masa penuh harapan bagi para petani padi. Pada saat itulah petani mempersiapkan segala sesuatunya untuk memulai langkah dalam menekuni usaha mereka, menanam padi. Meski demikian, awal MT padi juga bukannya tanpa problem. Justru, di balik terbukanya harapan dan semangat baru, masa awal MT adalah juga saat penuh kritis bagi mereka. Yang harus disediakan petani pada menjelang MT bukan hanya semangat, harapan, modal usaha, tenaga kerja, dan benih padi. Semua itu tak akan berarti tanpa adanya dukungan sarana produksi padi (saprodi) lain, dalam bentuk ketersediaan pupuk dalam jumlah dan kualitas memadai.

Yang menjadi persoalan, justru setiap menjelang MT atau masa awal MT, petani selalu dihadapkan pada masalah klasik, kelangkaan pupuk, khususnya jenis urea, yang memang sangat dibutuhkan pada fase pertumbuhan awal (vegetatif) tanaman padi. Inilah yang terjadi dalam sebulan terakhir ini di sejumlah daerah di Jawa Barat. Para petani mengeluh karena untuk mendapatkan urea begitu sulit. Keluhan petani sangat wajar sebab jika sampai tanaman padi tidak dipupuk, alamat kegagalan usaha tani mereka bakal terjadi pada tahap awal. Sejumlah penyalur dan toko mengaku kehabisan stok karena suplai dari distributor atau penyalur juga seret. Sementara itu, jika pun ada, pasti harganya sudah jauh di atas harga eceran terendah (HET).

Jika sudah demikian, biasanya sulit mencari pahlawan untuk sekadar mengaku bahwa dirinya adalah pihak paling bertanggung jawab atas kelangkaan pupuk. Semua pihak nyaris melempar tanggung jawab, membentuk lingkaran setan yang akan sulit ditentukan pada titik mana sumber kesalahan. Bahkan, ketika persoalan sudah sampai ke tangan produsen, dalam hal ini pabrik pupuk, jawaban yang muncul pun teramat klise dan mudah untuk diduga, "kelangkaan itu kemungkinan akibat musim tanam yang serentak di beberapa daerah. Akibatnya, petani membutuhkan pupuk dalam waktu hampir bersamaan, permintaan melonjak, sedangkan produksi harian pabrik konstan dan tak bisa digenjot secara mendadak."

Jawaban seperti itu memang masuk akal dari sisi hitung-hitungan supply and demand. Namun, menjadi sebuah penjelasan yang naif jika dikaitkan dengan konteks kepentingan para petani dan dunia pertanian kita. Bukankah kelangkaan pupuk bukan baru kali ini terjadi dan tidak hanya terjadi di Jawa Barat? Kelangkaan pupuk sesungguhnya sudah menjadi semacam ritual tahunan yang senantiasa harus dilakoni para petani padi saat menjelang MT tiba.

Mengapa hilangnya berton-ton pupuk tiap tahunnya tidak pernah dicatat untuk kemudian dijadikan bahan evaluasi dan pelajaran? Kalaulah mau jujur, sebetulnya angka kebutuhan pupuk tiap daerah dan nasional gampang dihitung. Dari hasil hitungan itulah, produksi bisa direncanakan, distribusi bisa diatur dan petani bisa mendapatkan pupuk sesuai dengan harga yang berlaku.

Atas berbagai keluhan petani itu, memang ada respons positif dari pihak produsen. Saat ini, PT Pupuk Kujang Cikampek dan Perwakilan Pusri Jabar bakal memasok sekiar 96.000 ton pupuk urea guna disebarkan di sejumlah daerah di Jawa Barat. Sebagai upaya jangka pendek, langkah itu memang cukup membantu. Akan tetapi, persoalannya tidaklah sederhana. Justru dari kasus langkanya pupuk setiap menjelang MT padi, terlalu banyak misteri yang harus dikuak, khususnya menyangkut kebijakan di bidang perpupukan, migas, serta keberpihakan pemerintah dan kalangan industri kepada para petani dan sektor pertanian.

Alasannya, jika dilihat dari kapasitas, kemampuan produksi industri pupuk nasional yang mencapai 6,5 juta ton per tahun sebenarnya masih di atas angka kebutuhan pupuk nasional yang hanya mencapai 4,5 juta ton. Artinya, dari sisi kemampuan, sebenarnya tak ada masalah dalam industri pupuk kita. Dengan produksi sebanyak itu, selain kebutuhan petani dalam negeri terpenuhi, sisanya masih bisa diekspor.***sumber : Pikiran Rakyat Cyber Media

Mimba, Neem, Pestisida, pupuk, Organik, lalat buah
1 Gambar
Menyediakan bermacam-macam produk pertanian dari tanaman mimba
1. pupuk mimba (neemba cake)
2. pestisida mimba (neemba oil)
3. pembasmi lalat buah
kunjungi website kami www.indoneem.com
atau email: intaran(at)indosat.net.id
phone: 0361 735822 (cp. bpk ade sukarsa)

Petani Dan Kelangkaan Pupuk

Oleh Tri Arya Dhyana K

Kehidupan petani memang senantiasa dipenuhi dengan cobaan demi cobaan, di
mana seringkali para petani seakan kehilangan pasokan pupuk untuk
tanamannya. Kelangkaan tersedianya pupuk ini tentu saja amat memukul usaha
para petani, sebab pupuk merupakan salah satu bahan produksi yang amat
diperlukan untuk menjaga kualitas dan kuantitas produk pertaniannya.
Walau saat ini dikatakan bahwa stok pupuk di masyarakat memadai, namun
seringkali terjadi pula kelangkaan pupuk sebagai akibat permainan
oknum-oknum pihak yang tidak bertanggungjawab demi untuk memperoleh
kepentingan pribadi. Sangat disayangkan, perilaku dari oknum yang
menyebabkan kelangkaan pupuk ini, seakan tidak terjamah oleh pihak-pihak
yang berwenang maupun dari pemerintah. Dan, penanggulangan kelangkaan pupuk
seringkali terkesan sangat lamban dilakukan, mungkin karena menganggap bahwa
hal ini bukan kondisi yang mendesak.
Banyak pihak telah mengakui akan pentingnya keberadaan pertanian tersebut,
namun seringkali tidak disertai dengan perhatian dan keberpihakan dari
pemerintah maupun masyarakat, walaupun ada perhatian tapi terkesan masih
setengah hati.
Selain kurang tegasnya masalah kebijakan penyaluran pupuk tersebut,
seringkali kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat maupun Daerah justru
cenderung menjerumuskan petani ke tingkat kehidupan yang sangat
memprihatinkan. Apalagi ditambah lagi dengan globalisasi perdagangan,
khususnya di sektor pertanian yang belum mampu dihadapi oleh para petani.
Sedangkan perhatian yang konsisten dan subsidi yang diberikan oleh
Pemerintah belumlah optimal, ditambah lagi adanya kebijakan untuk membuka
kran impor bagi produk pertanian luar yang terbukti makin menyengsarakan dan
meminggirkan pertanian kita sendiri.

Petani Bali
Kondisi kehidupan petani sejak dahulu tidaklah terlalu berubah, di tengah
makin derasnya wacana untuk keberpihakan pada sektor pertanian dalam arti
luas, justru nasib petani masih tetap sebagai obyek wacana di media massa
saja, bahkan cobaan makin banyak menimpa, seperti kelangkaan pupuk dan
banyaknya virus yang menyerang unggas milik peternak kita. Padahal kalau
kita telusuri bahwa pekerjaan sebagai petani memiliki fungsi ganda yaitu;
pertama, fungsi sosial-ekonomi yaitu petani dalam fungsinya sebagai suatu
mata pencaharian untuk menunjang kehidupan ekonomi pribadi dan perekonomian
daerahnya. Dan, kedua; fungsi menjaga kelestarian lingkungan yaitu kapasitas
petani sebagai pemelihara kelestarian dan keasrian lingkungan alam.
Hingga di sini dapat dikatakan bahwa petani dengan pertaniannya merupakan
suatu penyangga kehidupan, yaitu secara fisik merupakan penyedia bahan
pangan berupa padi, jagung dan lain-lain sebagai penguat ketahanan pangan
bagi masyarakat di suatu daerah. Sedangkan secara non-fisik, petani dan
pertaniannya merupakan penjaga kelestarian alam, hingga dapat dikatakan
secara fisik dan non-fisik, petani dengan pertaniannya merupakan penyangga
bagi kehidupan.

Namun jasa dan pengabdian para petani kita belumlah mendapat balasan yang
setimpal. Kondisi petani di Indonesia masih sangat akrab dengan
kesederhanaan yang mengarah ke kemiskinan. Sebenarnya bila kehidupan para
petani kita yang kebanyakan terdapat di desa tersebut dapat ditingkatkan,
maka imbas dan dampak positif dari peningkatan tersebut akan dirasakan oleh
masyarakat atau dunia usaha di perkotaan.
Ambil contoh, seandainya salah satu produk hasil pertanian seperti beras
mengalami peningkatan harga, maka petani akan mendapatkan tambahan
keuntungan yang akan meningkatkan daya beli petani. Peningkatan daya beli
petani ini akan dipakai oleh para petani untuk membeli kebutuhan hidup
lainnya di perkotaan yang industrinya maju, hingga dampak positif akan
didapatkan oleh industri dan masyarakat perkotaan. Hingga sudah sewajarnya
apabila suatu produk pertanian lokal kita mengalami kenaikan harga, maka
masyarakat perkotaan tidaklah terlalu mempermasalahkan, sebab kenaikan
tersebut akan meningkatkan daya beli petani yang akhirnya akan menguntungkan
masyarakat perkotaan pula. Bila ini terjadi, maka telah terwujud sinergi
antara desa dengan kota.
Yang diperlukan petani kita, adalah suatu kekuatan penekan untuk dapat
menentukan harga suatu produknya, dan memainkan suatu pasar. Kekuatan
tersebut sebenarnya telah dimiliki oleh petani, hanya para petani kita belum
memahami dan belum memperjuangkannya, walau kita ketahui para petani kita
telah berkelompok namun pemahaman mereka akan bargaining power yang dimiliki
belumlah optimal.

Politik Pertanian

Keterpinggiran petani dan pertanian telah kita ketahui bersama, untuk
menghadapi hal itu, petani tidak bisa lagi hanya bersikap pasrah dan
menunggu belas kasihan pemerintah atau kelompok masyarakat lainnya. Di
sinilah perlunya para petani menerapkan Politik Pertanian, di mana pada
prinsipnya politik pertanian bertujuan untuk menambah posisi tawar
(bargaining power) para petani terhadap pihak lain. Sedangkan selama ini
para petani ataupun himpunan para petani belum menerapkan kekuatan mereka
yang sebenarnya merupakan kekuatan tersembunyi yang dimiliki oleh para
petani.

Politik pertanian tersebut harus diterapkan pada setiap tingkatan kegiatan,
mulai dari memperoleh sarana produksi sampai ke pemasaran. Politik pertanian
harus menerapkan kekompakan dan persatuan serta pengorbanan dalam hal
membeli sarana produksi, dalam mencari alternatif lain pengganti saprodi,
hingga penjual saprodi menjadi merasa tergantung pada petani. Selain itu,
kekompakan dalam mengendalikan produksi yang dilepas ke pasar, hingga produk
di pasar tidak sampai over produksi, serta kekompakan dalam menghadapi
kebijakan yang mengganggu stok di pasar hingga dapat berdampak pada harga
produk pertanian. Praktik Politik Pertanian mengajarkan kepada petani untuk
dapat mengatur dan menjaga kualitas dan kontinyuitas stok produknya di pasar
dengan menerapkan pola tanam yang terencana hingga produk pertanian tidak
melimpah di pasaran yang akan merugikan petani itu sendiri.
Jadi intinya, Politik Pertanian itu memerlukan persatuan dan kekompakan
serta pengorbanan dari para petani dalam menghadapi penjual sarana produksi
(saprodi) -- seperti saat ini dalam menghadapi kelangkaan pupuk --, mengatur
pasokan di pasar dengan memainkan stok, ikut aktif mempengaruhi pemegang
kebijakan yang mempengaruhi harga produk pertanian di pasar.
Sedangkan menurut analisa ekonomi, Politik Pertanian ini akan menguntungkan
masyarakat secara umum, bukan saja menguntungkan para petani. Sebab, bila
politik pertanian ini dapat diterapkan dengan baik, maka kehidupan dan
kesejahteraan para petani akan dapat meningkat hingga meningkatkan pula daya
beli mereka. Di mana, pada akhirnya para petani tersebut akan memakai daya
belinya untuk dibelanjakan di perkotaan, hingga akan dapat lebih memajukan
perekonomian di kota.

Akhirnya, kita sangat mengharapkan agar masa-masa keberpihakan kepada petani
dan pertanian dalam arti luas, tidak hanya berhenti pada tataran wacana
saja. Sebab, sudah seringkali petani mengalami berbagai cobaan dan
penderitaan yang mengakibatkan keterpinggiran mereka sebagai salah satu mata
pencaharian yang sangat mulia.

(Tri Arya Dhyana K, SE MSi adalah ekonom alumnus UGM,
bekerja pada Bappeda Provinsi Bali, tinggal di Denpasar).

Pupuk Dan Ironi Ketahanan Pangan

Oleh ES Damayanti

Selama tiga tahun terakhir, produksi pupuk nasional dari 12 BUMN tersebut
cukup melimpah. Artinya, pasokan dalam negeri akan aman. Tetapi, kenapa
justru pasokan dalam negeri menjadi tersendat? Cukup menyimpan sejumlah
teka-teki memang. Lantaran, sejak tahun 2002, total produksi pupuk nasional
sebanyak 6,2 juta ton. Sementara, para petani nasional hanya membutuhkan
pasokan sebanyak 4,5 juta ton saja. Sisa dari produksi tersebut diekspor.

Menjadi petani di negeri ini, tak selamanya untung. Buntung? Memang demikian
faktanya. Terlebih, ketika kita mencermati padat- nya isu publik di banyak
media massa tentang langkanya pupuk, dalam sebulan terakhir ini. Khususnya
di Pulau Jawa, para petani mengeluh. Pupuk langka, sementara petani
membutuhkannya. Sungguh ironis memang. Artinya, nasib petani di ujung
tanduk. Sementara, pada sisi yang lain, eksistensi petani begitu dibutuhkan
dan diharapkan sebagai salah satu penyangga kestabilan ekonomi bangsa ini.
Komodifikasi nasib buruk petani, sering kita lihat. Petani acap mengeluh
memang. Mulai dari harga pupuk yang mahal, pupuk yang langka, harga dasar
gabah yang terus melorot dan yang lain. Sisi buruknya adalah, nasib petani
yang kian tidak menentu. Paling tidak, kondisi ini cukup memberikan gangguan
besar pada upaya, dan sebuah mimpi besar bernama: ketahanan pangan. Ketika
pemerintah mencanangkan ketahanan pangan nasional dengan gairah yang luar
biasa, sama sekali tidak disadari adanya begitu banyak batu sandungan di
dalamnya.
Persoalan pupuk di Tanah Air, senantiasa klasik. Pupuk menjadi sebuah
komoditas yang laku jual, manakala menjelang musim panen. Anehnya, justru
pupuk menjadi barang yang langka manakala musim tanam tiba. Ketika musim
tanam tiba, justru petani lebih gelisah. Karena, perolehan uang hasil panen
sebelumnya justru tidak cukup lagi untuk membeli pupuk yang harganya
melonjak, karena begitu langkanya pupuk, dan sulit untuk diperoleh.
Jika kondisinya seperti ini, sudah tentu petani akan begitu gelisah.
Energinya akan habis untuk terus-menerus memikirkan pupuk. Maka, sederetan
persoalan pupuk yang lantas terus-menerus menjadi aktual manakala musim
panen tiba adalah persoalan tata niaga pupuk yang mutlak untuk
dipertanyakan. Akankah selama bangsa ini berdiri belum ada penanganan serius
menyangkut tata niaga pupuk yang memberikan rasa nyaman kepada para petani?
Seandainya masih chaos, akankah kita bisa mencapai sebuah ketahanan pangan
yang seringkali dikampanyekan ?

Risiko Petani

Pupuk langka, adalah kisah klasik menjelang musim tanam. Selama ini memang,
banyak petani Jawa yang sering mengeluhkan tingginya harga pupuk dan
langkanya produk pupuk di pasaran. Jelas, kondisi yang tidak pasti tentang
distribusi pupuk, akan sangat menggangu kinerja dunia pertanian. Kenapa kita
harus memikirkan persoalan pupuk, khususnya untuk petani di Pulau Jawa?
Alasannya sangat sederhana. Lantaran, 70% pangan (suplai) beras nasional
berasal dari petani di Pulau Jawa.
Dakwaannya bukan sekadar bahwa telah terjadi sistem distribusi pupuk yang
memang kacau. Tetapi, lebih pada upaya untuk mempertanyakan sejauh mana
kemampuan pemerintah untuk menciptakan tingkat efisiensi kerja pada 12 BUMN
(Badan Usaha Milik Negara) pupuk di Tanah Air. Harus diakui bahwa
produktivitas 12 BUMN pupuk nasional memang mampu mensuplai kebutuhan dan
konsumsi pupuk para petani. Akankah tercipta sebuah monopoli, dengan
memainkan jalur distribusi pupuk, sehingga petani sendirilah yang pada
akhirnya akan dirugikan?
Dapat dikatakan bahwa selama tiga tahun terakhir, produksi pupuk nasional
dari 12 BUMN tersebut cukup melimpah. Artinya, pasokan dalam negeri akan
aman. Tetapi, kenapa justru pasokan dalam negeri menjadi tersendat? Cukup
menyimpan sejumlah teka-teki memang. Lantaran, sejak tahun 2002, total
produksi pupuk nasional sebanyak 6,2 juta ton. Sementara, para petani
nasional hanya membutuhkan pasokan sebanyak 4,5 juta ton saja. Sisa dari
produksi tersebut diekspor.
Sekalipun variannya fluktuatif menyangkut konsumsi pupuk petani, kisarannya
masih stabil. Masih sangat aman untuk bisa memenuhi kebutuhan konsumsi pupuk
petani dalam negeri. Kebutuhan yang stabil dari petani terhadap pupuk dari
tahun ke tahun, diprediksikan akan turun. Kenyataan ini akan terbukti dari
sebuah studi terakhir tentang kian menyusutnya kinerja sektor pertanian.
Studi terakhir dari kinerja sektor pertanian, akan berelasi signifikan
dengan pola konsumsi pupuk. Hasil studi kinerja pertanian paling akhir
mengungkapkan bahwa, pertama, telah terjadi penurunan areal lahan pertanian
yang merata di banyak tempat Tanah Air sebesar 10%. Penurunan lahan yang
dialokasikan untuk pertanian menyusut karena makin meningkatnya kebutuhan
masyarakat pada fasilitas pemukiman, pengembangan industri dan kebutuhan
pada fasilitas publik yang lain. Khususnya untuk kawasan Pulau Jawa.
Ironisnya, pada satu sisi Pulau Jawa memasok 70% pangan nasional, namun dari
tahun ke tahun malah makin kecil areal lahan pertaniannya. Mari kita
membayangkan, dalam sepuluh tahun ke depan apa jadinya?
Kedua, telah terjadi penurunan produksi setiap areal lahan (1 hektar)
sebesar 6,95%. Penurunan ini akibat dari makin mengecilnya areal tanam
petani. Bisa dipikirkan bahwa tidak selamanya kita akan menjadi bangsa yang
stabil dalam produksi pangan. Dari tahun ke tahun produksi pangan menurun.
Maka konsekuensinya, penambahan impor beras yang terus menerus tak
terbendung, karena lebih dari 220 juta jiwa di Tanah Air membutuhkan pangan
setiap harinya.
Ketiga, terjadi penurunan konsumsi pupuk setiap areal lahan tanam. Penurunan
konsumsi pupuk para petani sebesar 10,92% setiap tahun. Penyusutan ini,
dihitung dari makin berkurangnya lahan dan areal tanam. Serta diakibatkan
oleh harga pupuk sendiri sangat fluktuatif dan tidak menentu. Sebuah pil
pahit yang memang terus-menerus harus ditelan oleh petani, manakala
harga-harga pupuk terus melambung.
Keempat, makin anjloknya investasi sektor pertanian. Bisa dikatakan bahwa
sektor pertanian saat ini bukanlah sektor yang sangat diunggulkan dan
dianakemaskan. Strategi pembangunan yang salah telah mengakibatkan investor
lebih memilih berinvestasi pada sektor non-pertanian. Atau lebih
sederhananya, investasi usaha tani telah mengalami penurunan sebesar 1,9%.
Sangat memilukan memang, manakala menatap dunia pertanian kita. Nasib sektor
pertanian adalah anak tiri, yang memang tidak dilirik. Namun, harus
menanggung beban yang cukup berat.
Manakala faktor-faktor di atas dipikirkan, maka konsekuensinya adalah
menyangkut persoalan ketahanan pangan. Akankah kita tetap menjadi bangsa
yang tangguh dengan ketahanan pangannya, dengan berangkat dari faktor-faktor
di atas? Cukup berat memang. Maka, marilah meratapi nasib 220 juta penduduk
yang senantiasa butuh pangan.

Sistem Baru?
Pemerintah setidaknya harus menyadari bahwa kelangkaan pupuk adalah agenda
klasik yang memang terus-menerus muncul setiap tahunnya. Dugaan adanya
monopoli dan permainan dalam sistem distribusi memang tak bisa dikelabuhi.
Sehingga, kelangkaan pupuk bukan sekadar masalah terjadinya penurunan
produksi pupuk dari 12 BUMN semata. Namun, lebih pada adanya upaya untuk
bisa menciptakan ketegasan dalam jalur distribusi pupuk itu sendiri. Jika
demikian, maka kinerja antarinstansi yang terkait penting untuk
dioptimalkan. Optimalisasi ini, bukan sekadar mengarah pada layaknya
orang-orang membagi "kue" agar lebih merata.
Petani kita memang pernah dibiarkan untuk masuk dalam tata niaga pupuk yang
liberal. Yakni, ketika tahun 1987 pemerintah telah mencabut subsidi pupuk
dan subsisdi pestisida. Liberalisasi ini, jelas akan melahirkan banyak
konsekuensi. Kebijakan baru dengan memberikan subsidi sebesar 35 juta dolar
AS untuk pupuk jelas harus dilihat kembali mekanismenya.

Barangkali yang mutlak untuk dipikirkan adalah menciptakan pola distribusi
yang baru. Yang artinya, pola distribusi yang lebih otonom. Pola distribusi
ini tentu akan ditandai dengan adanya mekanisme distribusi yang lebih
profesional, adanya transparansi, dan akuntabilitas dalam tata niaga. Jika
ini bisa diupayakan, paling tidak, kita akan melegakan sedikit nasib petani.
Mungkin petani akan merasa nyaman, dengan adanya sistem monopoli yang justru
akan memicu fluktuasi harga pupuk.
Ada saatnya kita harus percaya bahwa sistem kompetisi yang sehat akan
membangun sistem perekonomian yang sehat pula. Bukankah demikian? ***

(ES Damayanti, MM adalah pengamat ekonomi
alumnus Sekolah Tinggi Manajemen Yogyakarta,
tinggal di Klaten, Jateng).

Antisipasi Kenaikan Harga Pupuk---

Penggunaan Pupuk Organik mesti Digalakkan

KENAIKAN berbagai harga tampaknya makin sulit dikendalikan belakangan ini. Bahkan, harga sarana produksi pertanian (saprodi) juga ikut naik yang membuat petani makin berat. Sebab, akibat kenaikan harga saprodi yang tak diikuti dengan harga produksi seperti gabah, maka petani jelas akan merugi dalam menjalankan usaha taninya. Lantas apa yang bisa dilakukan petani agar bisa tetap hidup dari bertani yang menjadi mata pokok pencariannya sehari-hari?

Ketika distribusi pupuk masih dilakukan koperasi (KUD), kegiatan usaha tani terbilang cukup memberi harapan. Bahkan, petani nampak antusias mengelola lahan mereka meski luasnya sangat terbatas. Kini ketika pupuk tak lagi disalurkan koperasi, petani mulai merasakan begitu sulitnya mendapatkan pupuk. ''Belum lagi harganya yang terus membubung naik,'' jelas sejumlah petani.

Naiknya harga pupuk kimia membuat petani menjerit. Sebab, kenaikan itu belum diikuti kenaikan harga jual produk mereka. Ketua Umum Dekopin Adi Sasono saat berbicara di depan jajaran pengurus koperasi se-Bali, Senin (22/5) kemarin mengatakan kenaikan harga-harga memang sulit dihindari, termasuk makin mahalnya pupuk. Namun, menurutnya, petani maupun pengusaha yang bergerak di sektor pertanian tak mesti terlalu tergantung dengan harga pupuk atau pupuk yang disubsidi. Sebab, kalau saja kegiatan di sektor pertanian bisa dikelola secara cermat dengan teknologi yang tepat, produk yang dihasilkan akan cukup menguntungkan. Ke depan, tambahnya, penggunaan pupuk organik untuk menghasilan produk organik dinilai memiliki prospek cerah. ''Bali memiliki peluang besar untuk menghasilkan produk organik ini,'' tambahnya.

Selain didukung petani yang andal dan kondisi alam yang baik, sebagai daerah pariwisata, produk pertanian organik sangat dibutuhkan. Bahkan, Adi Sasono memuji petani Bali yang bukan saja dinilainya ulet dan terampil juga kreatif dan bisa dipercaya. Ini menjadi kekuatan yang bisa dipertaruhkan dalam melakukan kegiatan bisnis. ''Jadi dengan apa yang dimiliki petani Bali, tak perlu cemas soal modal,'' tambahnya.

Koperasi, tambahnya, merupakan salah satu perangkat yang bisa membantu berbagai kegiatan petani yang menjadi anggotanya. ''Kita siap membantu dalam berbagai kegiatan,'' jelas Adi Sasono. Ia mengingatkan agar petani tak terlalu bergantung pada pupuk yang disubsidi. Dengan pengembangan pertanian organik selain hemat biaya juga bisa menghasilkan produk dengan nilai jual tinggi. Harga produk pertanian organik bisa berlipat ganda dibandingkan produk nonorganik.

Pakar pertanian Dr. Kartini dalam sebuah pelatihan di sentra pertanian Plaga, Petang mengatakan, penggunaan pupuk organik bukan saja memperkecil ketergantungan akan pupuk kimia, juga memberi efek ganda pada perbaikan kualitas tanah selain produk pertanian yang dihasilkan.

Sejumlah pengurus KUD yang selama ini bergerak di sektor pertanian mengakui belakangan ini harga pupuk naik cukup tinggi, sehingga makin menambah biaya produksi. Drs. Mardanta, salah seorang manajer KUD di Gianyar, mengatakan selain harga pupuk yang cukup memberatkan, petani juga tak mudah mendapatkannya. ''Pupuknya cukup tersedia, tetapi penyaluran pupuk harus dilengkapi RDKK,'' jelasnya.

RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok) ini yang harus dibawa petani baru bisa mendapatkan pupuk. Namun, persoalan mendasar sebenarnya bukan soal RDKK itu. Mardanta maupun Ketua Dekopinwil Bali yang juga manajer Puskud Bali Dwipa yang selama ini bergerak dalam distribusi saprodi pertanian Sugawa Korry, S.E., M.M. mengatakan kunci dari kegiatan usaha tani adalah harga jual produk petani.

Bagi kedua tokoh koperasi tersebut, bisa saja pemerintah menaikkan pupuk, namun hal itu juga harus dibarengi dengan kompensasi harga produk seperti gabah yang dihasilkan. Pemerintah, tambah Sugawa Korry, juga mesti mengikutinya dengan kebijakan yang menguntungkan petani seperti membatasi impor beras murah. ''Tak ada artinya menaikkan harga gabah kalau impor bebas terjadi,'' tambahnya.

Perbaikan distribusi pupuk juga harus dilakukan secara baik sehingga harga di tingkat petani tak sampai jauh di atas HET. Selama ini masih terjadi adanya distributor yang juga bertindak sebagai pengecer. Dikatakan, tanah pertanian Bali masih cukup potensial untuk menghasilkan aneka produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Namun, pemerintah juga mesti ikut membantu petani.

* alit sumertha

Selasa, 15 Januari 2008

pangan

TAJUK : Krisis Pangan

Dari pejabat puncak di organisasi pangan dan pertanian PBB yang berkedudukan di Roma sampai pada seorang kerani di badan ketahanan pangan di suatu kabupaten di Indonesia sudah bicara keras soal krisis pangan yang akan melanda dunia. Dan yang terutama akan menderita adalah negara-negara miskin.

Indonesia bukanlah termasuk low income food deficit countries (LIFDCs), namun oleh FAO, kita dimasukkan dalam daftar negara-negara krisis pangan yang perlu bantuan luar. Seluruhnya ada 37 negara, dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), disusul Asia (9), Amerika Latin (6) dan Eropa Timur (2). Krisis pangan di beberapa negara telah memicu krisis sosial.

Indonesia jelas bukan negara yang tak berdaya dalam menghadapi kerawanan pangan. Negeri ini punya kemampuan dalam memproduksi makanan pokok rakyatnya. Krisis memang disebabkan gabungan berbagai faktor, dan yang paling dirisaukan pada Indonesia adalah bencana alam – terutama gempa bumi - yang bergantian menguncang daerah-daerah. Karena itu dalam daftar Countries in Crisis Requiring External Assistance, Indonesia dikategorikan dalam negara dengan risiko severe localized food insecurity. Cuma, seperti yang telah jadi cerita klasik, parahnya kelaparan yang kerap menimpa daerah-daerah tersebut, adalah karena kelangkaan akses, buruknya prasarana untuk transportasi dan distribusi, lambatnya tindakan menanggulangi bencana alam.

Namun kini krisis pangan menjadi isu dunia, yang dampaknya juga dirasakan masyarakat di negara maju. Kegawatannya sudah terasa mulai 2007 dan bakal makin menjadi-jadi pada tahun-tahun berikutnya. Global food crisis ini, seperti sudah sering dikemukakan, biang keladinya adalah lonjakan tajam harga minyak bumi. Harga minyak yang menggila, mendekati US$100 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Pada saat bersamaan mendorong penyulingan energi alternatif, biodiesel dan bioetanol, yang bahannya dari jagung, tebu atau kelapa sawit.

Pasar jagung dunia yang 70% diisi oleh panenan dari Amerika disedot seperempatnya untuk etanol. Pengembangan bahan bakar nabati (BBN) yang mengambil bahan pangan manusia dan hewan ternak ini segera saja menyentak harga. Harga gandum jadi dua kali lipat, jagung naik 50%, beras naik 20% (dibanding 2006). Rekor dunia harga makanan pokok memicu inflasi harga pangan di Indonesia sampai 13%.

Pengembangan BBN yang merebut bahan makanan untuk manusia itu bergandengan dengan perubahan iklim yang membawa banjir, badai panas, kekeringan. Maka kita disadarkan akan perlunya varietas baru tanaman pangan dan teknologi yang mengadaptasi kelakuan iklim. Lalu ada juga yang meyakini bahwa krisis pangan ini disebabkan oleh perubahan pola makan di negeri China. Yang pasti pula – dalam kasus Indonesia – adalah menyusutnya lahan pertanian tanaman pangan dan tidak terkendalinya angka kelahiran.

Dengan kekecualian konversi BBM ke BBN, masalah pangan dan ancaman terhadap ketersediaannya bukanlah hal baru bagi Indonesia. Kelainan iklim dengan gelombang El-Nino yang gawat kita alami sepuluh tahun lalu. Pada 1998/1999 kita mengimpor beras sampai 4 juta ton. Paceklik dan kerawanan pangan lokal berkali-kali terjadi karena kegagalan panen oleh penyimpangan musim dan bencana alam. Para penyelenggara negara, sejak zaman revolusi, sampai reformasi punya pengetahuan yang cukup atas masalah pangan dan berbagai faktor yang mengancamnya. Pemerintahan yang sekarang punya program jelas dan rinci dalam RPPK, Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Di situ terdapat jawaban-jawaban untuk permasalahan pangan dan kesejahteraan rakyat pedesaan. Ada pula Panca Yasa Pertanian. Untuk itu ada dana triliunan rupiah.

Yang perlu dilihat di lapangan adalah seberapa nyata langkah-langkah revitalisasi demi menjauhkan krisis pangan itu telah dijalankan. Seberapa jauh jaringan irigasi ditambah dan direhabilitasi. Seberapa luas lahan tanaman pangan didapat, seberapa jauh jalan kabupaten dan kecamatan menjangkau sentra produksi, seberapa banyak dermaga dan moda transportasi, seberapa efektif kerja tenaga penyuluh lapangan, seberapa tertib pupuk dan saprodi lainnya disalurkan, seberapa sungguh kredit usaha tani, seberapa serius program diversifikasi pangan.