Selasa, 15 Januari 2008

pangan

TAJUK : Krisis Pangan

Dari pejabat puncak di organisasi pangan dan pertanian PBB yang berkedudukan di Roma sampai pada seorang kerani di badan ketahanan pangan di suatu kabupaten di Indonesia sudah bicara keras soal krisis pangan yang akan melanda dunia. Dan yang terutama akan menderita adalah negara-negara miskin.

Indonesia bukanlah termasuk low income food deficit countries (LIFDCs), namun oleh FAO, kita dimasukkan dalam daftar negara-negara krisis pangan yang perlu bantuan luar. Seluruhnya ada 37 negara, dengan jumlah terbesar di Afrika (20 negara), disusul Asia (9), Amerika Latin (6) dan Eropa Timur (2). Krisis pangan di beberapa negara telah memicu krisis sosial.

Indonesia jelas bukan negara yang tak berdaya dalam menghadapi kerawanan pangan. Negeri ini punya kemampuan dalam memproduksi makanan pokok rakyatnya. Krisis memang disebabkan gabungan berbagai faktor, dan yang paling dirisaukan pada Indonesia adalah bencana alam – terutama gempa bumi - yang bergantian menguncang daerah-daerah. Karena itu dalam daftar Countries in Crisis Requiring External Assistance, Indonesia dikategorikan dalam negara dengan risiko severe localized food insecurity. Cuma, seperti yang telah jadi cerita klasik, parahnya kelaparan yang kerap menimpa daerah-daerah tersebut, adalah karena kelangkaan akses, buruknya prasarana untuk transportasi dan distribusi, lambatnya tindakan menanggulangi bencana alam.

Namun kini krisis pangan menjadi isu dunia, yang dampaknya juga dirasakan masyarakat di negara maju. Kegawatannya sudah terasa mulai 2007 dan bakal makin menjadi-jadi pada tahun-tahun berikutnya. Global food crisis ini, seperti sudah sering dikemukakan, biang keladinya adalah lonjakan tajam harga minyak bumi. Harga minyak yang menggila, mendekati US$100 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Pada saat bersamaan mendorong penyulingan energi alternatif, biodiesel dan bioetanol, yang bahannya dari jagung, tebu atau kelapa sawit.

Pasar jagung dunia yang 70% diisi oleh panenan dari Amerika disedot seperempatnya untuk etanol. Pengembangan bahan bakar nabati (BBN) yang mengambil bahan pangan manusia dan hewan ternak ini segera saja menyentak harga. Harga gandum jadi dua kali lipat, jagung naik 50%, beras naik 20% (dibanding 2006). Rekor dunia harga makanan pokok memicu inflasi harga pangan di Indonesia sampai 13%.

Pengembangan BBN yang merebut bahan makanan untuk manusia itu bergandengan dengan perubahan iklim yang membawa banjir, badai panas, kekeringan. Maka kita disadarkan akan perlunya varietas baru tanaman pangan dan teknologi yang mengadaptasi kelakuan iklim. Lalu ada juga yang meyakini bahwa krisis pangan ini disebabkan oleh perubahan pola makan di negeri China. Yang pasti pula – dalam kasus Indonesia – adalah menyusutnya lahan pertanian tanaman pangan dan tidak terkendalinya angka kelahiran.

Dengan kekecualian konversi BBM ke BBN, masalah pangan dan ancaman terhadap ketersediaannya bukanlah hal baru bagi Indonesia. Kelainan iklim dengan gelombang El-Nino yang gawat kita alami sepuluh tahun lalu. Pada 1998/1999 kita mengimpor beras sampai 4 juta ton. Paceklik dan kerawanan pangan lokal berkali-kali terjadi karena kegagalan panen oleh penyimpangan musim dan bencana alam. Para penyelenggara negara, sejak zaman revolusi, sampai reformasi punya pengetahuan yang cukup atas masalah pangan dan berbagai faktor yang mengancamnya. Pemerintahan yang sekarang punya program jelas dan rinci dalam RPPK, Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Di situ terdapat jawaban-jawaban untuk permasalahan pangan dan kesejahteraan rakyat pedesaan. Ada pula Panca Yasa Pertanian. Untuk itu ada dana triliunan rupiah.

Yang perlu dilihat di lapangan adalah seberapa nyata langkah-langkah revitalisasi demi menjauhkan krisis pangan itu telah dijalankan. Seberapa jauh jaringan irigasi ditambah dan direhabilitasi. Seberapa luas lahan tanaman pangan didapat, seberapa jauh jalan kabupaten dan kecamatan menjangkau sentra produksi, seberapa banyak dermaga dan moda transportasi, seberapa efektif kerja tenaga penyuluh lapangan, seberapa tertib pupuk dan saprodi lainnya disalurkan, seberapa sungguh kredit usaha tani, seberapa serius program diversifikasi pangan.

Tidak ada komentar: