Sabtu, 19 Januari 2008

Pupuk Dan Ironi Ketahanan Pangan

Oleh ES Damayanti

Selama tiga tahun terakhir, produksi pupuk nasional dari 12 BUMN tersebut
cukup melimpah. Artinya, pasokan dalam negeri akan aman. Tetapi, kenapa
justru pasokan dalam negeri menjadi tersendat? Cukup menyimpan sejumlah
teka-teki memang. Lantaran, sejak tahun 2002, total produksi pupuk nasional
sebanyak 6,2 juta ton. Sementara, para petani nasional hanya membutuhkan
pasokan sebanyak 4,5 juta ton saja. Sisa dari produksi tersebut diekspor.

Menjadi petani di negeri ini, tak selamanya untung. Buntung? Memang demikian
faktanya. Terlebih, ketika kita mencermati padat- nya isu publik di banyak
media massa tentang langkanya pupuk, dalam sebulan terakhir ini. Khususnya
di Pulau Jawa, para petani mengeluh. Pupuk langka, sementara petani
membutuhkannya. Sungguh ironis memang. Artinya, nasib petani di ujung
tanduk. Sementara, pada sisi yang lain, eksistensi petani begitu dibutuhkan
dan diharapkan sebagai salah satu penyangga kestabilan ekonomi bangsa ini.
Komodifikasi nasib buruk petani, sering kita lihat. Petani acap mengeluh
memang. Mulai dari harga pupuk yang mahal, pupuk yang langka, harga dasar
gabah yang terus melorot dan yang lain. Sisi buruknya adalah, nasib petani
yang kian tidak menentu. Paling tidak, kondisi ini cukup memberikan gangguan
besar pada upaya, dan sebuah mimpi besar bernama: ketahanan pangan. Ketika
pemerintah mencanangkan ketahanan pangan nasional dengan gairah yang luar
biasa, sama sekali tidak disadari adanya begitu banyak batu sandungan di
dalamnya.
Persoalan pupuk di Tanah Air, senantiasa klasik. Pupuk menjadi sebuah
komoditas yang laku jual, manakala menjelang musim panen. Anehnya, justru
pupuk menjadi barang yang langka manakala musim tanam tiba. Ketika musim
tanam tiba, justru petani lebih gelisah. Karena, perolehan uang hasil panen
sebelumnya justru tidak cukup lagi untuk membeli pupuk yang harganya
melonjak, karena begitu langkanya pupuk, dan sulit untuk diperoleh.
Jika kondisinya seperti ini, sudah tentu petani akan begitu gelisah.
Energinya akan habis untuk terus-menerus memikirkan pupuk. Maka, sederetan
persoalan pupuk yang lantas terus-menerus menjadi aktual manakala musim
panen tiba adalah persoalan tata niaga pupuk yang mutlak untuk
dipertanyakan. Akankah selama bangsa ini berdiri belum ada penanganan serius
menyangkut tata niaga pupuk yang memberikan rasa nyaman kepada para petani?
Seandainya masih chaos, akankah kita bisa mencapai sebuah ketahanan pangan
yang seringkali dikampanyekan ?

Risiko Petani

Pupuk langka, adalah kisah klasik menjelang musim tanam. Selama ini memang,
banyak petani Jawa yang sering mengeluhkan tingginya harga pupuk dan
langkanya produk pupuk di pasaran. Jelas, kondisi yang tidak pasti tentang
distribusi pupuk, akan sangat menggangu kinerja dunia pertanian. Kenapa kita
harus memikirkan persoalan pupuk, khususnya untuk petani di Pulau Jawa?
Alasannya sangat sederhana. Lantaran, 70% pangan (suplai) beras nasional
berasal dari petani di Pulau Jawa.
Dakwaannya bukan sekadar bahwa telah terjadi sistem distribusi pupuk yang
memang kacau. Tetapi, lebih pada upaya untuk mempertanyakan sejauh mana
kemampuan pemerintah untuk menciptakan tingkat efisiensi kerja pada 12 BUMN
(Badan Usaha Milik Negara) pupuk di Tanah Air. Harus diakui bahwa
produktivitas 12 BUMN pupuk nasional memang mampu mensuplai kebutuhan dan
konsumsi pupuk para petani. Akankah tercipta sebuah monopoli, dengan
memainkan jalur distribusi pupuk, sehingga petani sendirilah yang pada
akhirnya akan dirugikan?
Dapat dikatakan bahwa selama tiga tahun terakhir, produksi pupuk nasional
dari 12 BUMN tersebut cukup melimpah. Artinya, pasokan dalam negeri akan
aman. Tetapi, kenapa justru pasokan dalam negeri menjadi tersendat? Cukup
menyimpan sejumlah teka-teki memang. Lantaran, sejak tahun 2002, total
produksi pupuk nasional sebanyak 6,2 juta ton. Sementara, para petani
nasional hanya membutuhkan pasokan sebanyak 4,5 juta ton saja. Sisa dari
produksi tersebut diekspor.
Sekalipun variannya fluktuatif menyangkut konsumsi pupuk petani, kisarannya
masih stabil. Masih sangat aman untuk bisa memenuhi kebutuhan konsumsi pupuk
petani dalam negeri. Kebutuhan yang stabil dari petani terhadap pupuk dari
tahun ke tahun, diprediksikan akan turun. Kenyataan ini akan terbukti dari
sebuah studi terakhir tentang kian menyusutnya kinerja sektor pertanian.
Studi terakhir dari kinerja sektor pertanian, akan berelasi signifikan
dengan pola konsumsi pupuk. Hasil studi kinerja pertanian paling akhir
mengungkapkan bahwa, pertama, telah terjadi penurunan areal lahan pertanian
yang merata di banyak tempat Tanah Air sebesar 10%. Penurunan lahan yang
dialokasikan untuk pertanian menyusut karena makin meningkatnya kebutuhan
masyarakat pada fasilitas pemukiman, pengembangan industri dan kebutuhan
pada fasilitas publik yang lain. Khususnya untuk kawasan Pulau Jawa.
Ironisnya, pada satu sisi Pulau Jawa memasok 70% pangan nasional, namun dari
tahun ke tahun malah makin kecil areal lahan pertaniannya. Mari kita
membayangkan, dalam sepuluh tahun ke depan apa jadinya?
Kedua, telah terjadi penurunan produksi setiap areal lahan (1 hektar)
sebesar 6,95%. Penurunan ini akibat dari makin mengecilnya areal tanam
petani. Bisa dipikirkan bahwa tidak selamanya kita akan menjadi bangsa yang
stabil dalam produksi pangan. Dari tahun ke tahun produksi pangan menurun.
Maka konsekuensinya, penambahan impor beras yang terus menerus tak
terbendung, karena lebih dari 220 juta jiwa di Tanah Air membutuhkan pangan
setiap harinya.
Ketiga, terjadi penurunan konsumsi pupuk setiap areal lahan tanam. Penurunan
konsumsi pupuk para petani sebesar 10,92% setiap tahun. Penyusutan ini,
dihitung dari makin berkurangnya lahan dan areal tanam. Serta diakibatkan
oleh harga pupuk sendiri sangat fluktuatif dan tidak menentu. Sebuah pil
pahit yang memang terus-menerus harus ditelan oleh petani, manakala
harga-harga pupuk terus melambung.
Keempat, makin anjloknya investasi sektor pertanian. Bisa dikatakan bahwa
sektor pertanian saat ini bukanlah sektor yang sangat diunggulkan dan
dianakemaskan. Strategi pembangunan yang salah telah mengakibatkan investor
lebih memilih berinvestasi pada sektor non-pertanian. Atau lebih
sederhananya, investasi usaha tani telah mengalami penurunan sebesar 1,9%.
Sangat memilukan memang, manakala menatap dunia pertanian kita. Nasib sektor
pertanian adalah anak tiri, yang memang tidak dilirik. Namun, harus
menanggung beban yang cukup berat.
Manakala faktor-faktor di atas dipikirkan, maka konsekuensinya adalah
menyangkut persoalan ketahanan pangan. Akankah kita tetap menjadi bangsa
yang tangguh dengan ketahanan pangannya, dengan berangkat dari faktor-faktor
di atas? Cukup berat memang. Maka, marilah meratapi nasib 220 juta penduduk
yang senantiasa butuh pangan.

Sistem Baru?
Pemerintah setidaknya harus menyadari bahwa kelangkaan pupuk adalah agenda
klasik yang memang terus-menerus muncul setiap tahunnya. Dugaan adanya
monopoli dan permainan dalam sistem distribusi memang tak bisa dikelabuhi.
Sehingga, kelangkaan pupuk bukan sekadar masalah terjadinya penurunan
produksi pupuk dari 12 BUMN semata. Namun, lebih pada adanya upaya untuk
bisa menciptakan ketegasan dalam jalur distribusi pupuk itu sendiri. Jika
demikian, maka kinerja antarinstansi yang terkait penting untuk
dioptimalkan. Optimalisasi ini, bukan sekadar mengarah pada layaknya
orang-orang membagi "kue" agar lebih merata.
Petani kita memang pernah dibiarkan untuk masuk dalam tata niaga pupuk yang
liberal. Yakni, ketika tahun 1987 pemerintah telah mencabut subsidi pupuk
dan subsisdi pestisida. Liberalisasi ini, jelas akan melahirkan banyak
konsekuensi. Kebijakan baru dengan memberikan subsidi sebesar 35 juta dolar
AS untuk pupuk jelas harus dilihat kembali mekanismenya.

Barangkali yang mutlak untuk dipikirkan adalah menciptakan pola distribusi
yang baru. Yang artinya, pola distribusi yang lebih otonom. Pola distribusi
ini tentu akan ditandai dengan adanya mekanisme distribusi yang lebih
profesional, adanya transparansi, dan akuntabilitas dalam tata niaga. Jika
ini bisa diupayakan, paling tidak, kita akan melegakan sedikit nasib petani.
Mungkin petani akan merasa nyaman, dengan adanya sistem monopoli yang justru
akan memicu fluktuasi harga pupuk.
Ada saatnya kita harus percaya bahwa sistem kompetisi yang sehat akan
membangun sistem perekonomian yang sehat pula. Bukankah demikian? ***

(ES Damayanti, MM adalah pengamat ekonomi
alumnus Sekolah Tinggi Manajemen Yogyakarta,
tinggal di Klaten, Jateng).

Tidak ada komentar: